RELEVANSI PENEGAKAN HUKUM DENGAN STATUS SOSIAL DALAM KASUS PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

Oleh: Imanuel Alvares, S.H., M.H.

Dalam praktik penegakan hukum, terdapat perbedaan yang mencolok antara masyarakat menengah ke atas dengan masyarakat menengah ke bawah ketika berhadapan dengan hukum. Hal ini menyebabkan potret hukum di Indonesia mendapatkan penilaian negatif dari masyarakat, karena hukum yang diharapkan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan hukum yang terdiri dari kepastian, kemanfaatan, dan keadilan yang dapat mengayomi masyarakat ternyata masih jauh dari harapan tersebut. Salah satu contohnya dapat melihat mengenai permasalahan dalam tindak pidana narkotika. Tindak pidana narkotika merupakan permasalahan multi dimensi dan sangat kompleks karena berkaitan dengan permasalahan hukum, keamanan negara, kesehatan, ekonomi, maupun sosial. Membangun paradigma yang sama dalam penanganan permasalahan narkotika adalah langkah awal dalam membangun sistem yang kuat dalam mengatasi permasalahan narkotika di Indonesia.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah dilakukan oleh aparat penegak hukum. Hukum yang seharusnya ditegakkan kepada siapa pun yang melakukan penyalahgunaan narkotika dalam kenyataannya justru (hanya) tajam terhadap masyarakat menengah ke bawah. Faktanya di lapangan penyalahguna yang memiliki status sosial yang tinggi akan dengan mudah mendapatkan rehabilitasi dibandingkan dengan masyarakat menengah ke bawah yang menjadi pelaku penyalahgunaan narkotika. Hampir dapat dikatakan penghuni lapas lebih didominasi oleh pelaku penyalahguna narkotika kelas menengah ke bawah. Namun permasalahan ini jarang disorot oleh media dan publik sehingga luput dari perhatian.

Pengaturan terkait rehabilitasi pecandu narkotika terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Keberadaan UU Narkotika ini merupakan suatu upaya politik hukum pemerintah Indonesia terhadap penanggulangan tindak pidana narkotika.UU Narkotika memberikan kewenangan kepada hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika untuk dapat memutuskan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, baik pecandu narkotika tersebut terbukti atau tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana.

Adapun salah satu tujuan utama diundangkannya UU Narkotika ini adalah pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib direhabilitasi (Pasal 54 UU Narkotika). Pasal 103 UU Narkotika memberi kewenangan hakim memerintahkan pecandu dan korban penyalahguna narkotika sebagai terdakwa menjalani rehabilitasi melalui putusannya jika mereka terbukti bersalah menyalahgunakan narkotika. Kewenangan hakim memerintahkan pecandu dan korban penyalahguna narkotika menjalani rehabilitasi ini bersifat fakultatif, bukan wajib.

Hal tersebut lebih lanjut diatur dalam Surat Edaran Mahkamah (SEMA) Agung nomor 4 Tahun 2010 jo SEMA Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial dan Surat Edaran Jaksa Agung terkait penempatan pengguna dan pecandu narkotika di tempat-tempat rehabilitasi namun tidak berjalan. Dari data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan total penghuni lapas mencapai 231.978 dengan kapasitas di seluruh Indonesia hanya mampu menampung 132.107, sedangkan kasus narkotika sejumlah 124.618 (data tersebut di akses pada http://smslap.ditjenpas.go.id/).

Jika ditinjau dari aspek penegakan hukum bahwa tujuan dari penegakan hukum yakni untuk mengatur masyarakat agar damai dan adil dengan mengadakan keseimbangan antar kepentingan yang dilindungi, sehingga tiap-tiap anggota masyarakat memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi haknya. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan. Hukum itu pada hakikatnya adalah suatu perangkat instrumen yang di tangan sebuah institusi kekuasaan akan difungsikan guna mengontrol perilaku warga dalam kehidupan mereka sehari-hari. Seberapa ketat atau longgarnya kontrol itu tidaklah mengurangi konsep para teoretisi sosial bahwa pada dasarnya hukum itu adalah instrumen kontrol. Sebagai instrumen kontrol, hukum ditengarai oleh sifatnya yang formal dan politis, tanpa peduli apakah warga itu suka dan rela atau tidak untuk menaatinya.

Sehubungan dengan masalah penegakan hukum ini, Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa masalah pokok dari pada penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: faktor hukumnya sendiri, dalam tulisan ini dibatasi pada undang-undangnya saja; faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. Kelima faktor ini saling berkaitan erat, karena hal tersebut merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas hukum itu sendiri

Lebih lanjut Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa penegakan hukum yang bercorak kepada penegakan hukum peraturan perundang-undangan belaka, akan ada kendala. Kendala itu adalah ketidakmampuan penegakan hukum untuk membaca dan menemukan sesungguhnya masalah hukum yang mana dan seperti apa yang sebenarnya terjadi, kemudian hal tersebut tentu akan terkait dengan sulitnya meletakkan sendi-sendi keadilan yang sesungguhnya.

Penerapan hukum pidana berupa penjara bagi korban penyalahguna narkotika terbukti telah gagal karena justru setiap tahunnya korban penyalahguna yang masuk penjara angkanya semakin naik. Apalagi dalam praktiknya sering terjadi diskriminasi terhadap para penyalahguna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *